Urgensi BUMN tanpa Intervensi

Gedung kementrian BUMN

Badan usaha milik negara (BUMN) adalah penyelangara publik dan penghasil keuntungan bagi negara, tetapi, selama beberapa dekade, mereka tak bisa maksimal menghasilkan laba. Salah satu sebabnya adalah intervensi yang masih kental . Selalu saja ada intrik atau konflik yang mengiringi pengangkatan komisaris ataupun direksinya.

Intervensi ini datang dari luar, seperti Dewan Perwakilan Rakyat atau birokrasi pemerintah. Pengangkatan direktsi yang harus melalui fit and proper test oleh DPR membuat banyak kepentingan terselebung yang bebernturan satu dengan lain.

Hal ini ikut memperburuk kinerja BUMN adalah budaya kerja organisasi yang sangat lamban, berbelit-belit, serta miskin kreasi dan inofasi. Untuk itu, butuh transformasi agar BUMN dapat selincah korporasi swasta yang cerdik sekaligus transparan.

Sebagai eksekutif dari swasta dan kemudian menjadi menteri pertama national holding company, sejak 1998 saya berkali-kali menyatakan perlunya korporasi menjalankan good corporate governance (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik.

Setelah meneken perjanjian dengan Dana Moneter Internasional (IMF), Presiden Soeharto ingin pinjam US$ 43 miliar dari IMF itu dibayar dari peningkatan nilai BUMN. Tapi Presiden sudah pikir, kalau tidak ada transformai, tidak mngkin BUMN bisa diberdayakan untuk meningkatkan nilai asetnya.

Pada Januari 1998, saya dipanggil Presiden dan diberi tahu bahwa Indonesia punya 158 BUMN. Jika nilainya bisa ditingkatkan , saham-saham dapat dijual sebagian untuk membayar utang. Saat itu nilai intrisik BUMN US$ 44 miliar.

Saya menyarankan untuk mengeluarkan BUMN dari birokrasi ke korporasi. Untuk itu, dibentuk national holding company yang membawahkan 10 sektoral holding, seperti sektor perhubungan, perkebunan, keuangan, dan sektor lain yang berpola commercial market driven untuk mencapai profit. Pendekatan ini berbeda dari keinginan IMF, yang menekankan privatisasi.

Dalam setahun, saya dan menteri lain meningkatkan profit BUMN hingga 95 persen. Salah satu kebijakan yang saya ambil adalah memberikan konsesi bagi empat BUMN, yaitu Pelindo II, Pelindo III, Angkasa Pura I, dan Angkasa Pura II. Mengapa konsesi? Kita mendapatkan dana segar di depan, tapi masih memiliki saparuh saham. Lalu, 20 tahun kedepan seluruh saam kita dapat kembali. Itu terjadi di Pelindo II dan Pelindo III. Dari dua perusahaan itu kita memperoleh hampir US$ 400 juta , jumlah yang besar dan langsung berdampak terhadap peningkatan nilai rupiah.

Penerapan GCG yangkini terus dijalankan oleh seluruh BUMN adalah hal yang harus kita pertahankan. Ini menjadi modal bagi BUMN untuk dapat mempertahankan mitra atau kerja sama bisnis. Sebagai contoh, Hutchison Port Holding (HPH) tak akan mau kembali bekerja sama dengan Pelindo II dalam pengeloaan JICT (Jakarta Internatioanal Container Terminal) jika Pelindo II tidak menjalankan prinsin-prinsi GCG. Kerja sama itu bahkan dapat menghasilkan mandaat di muka senilai US$ 486,5 juta.

Untuk melakukan GCG dibuthkan para peminpin yang hebat, cerdas, kuat sekaligus keras. Bahkan di Pelindo II saat ini ada Oversight Committe (OC) yang dipimpin oleh Erry Riyana Hardjapamekas yang selalu menjaga praktek GCG. Orang-orang seberti Robby Djohan, Emirsyah Satar, R.J. Lino, Ignasius Johan, dan Dahlan Iskan adalah para pemimpin BUMN yang telah membuktikan diri sebagai pemimpin yang hebat, serdas, kuat, sekaligus keras.

Tanggung jawab berada di pundak seorang menteri BUMN sebagai bos national holding company. Dia harus memastikan bahwa para pemimpin BUMN nyaman berkerja. Agar menteri nyaman bekerja, dia harus dijamin oleh presiden. Sayangnya, tak satu pun menteri BUMN di negeri ini yang dapat bekerja sempurna dan paripurna.

Mudah-mudahan, di masa Presiden Joko Widodo, Menteri Rini Soemarno mampu bertahan karena belum ada Menteri BUMN yang bertahan selama lima tahun. Maksimal 2 tahun 6 bulan. Saya saja hanya 2 tahun.

Kita tentu memiliki mimpi BUMN di Indonesia bisa sebesar Temasek milik Singapura atau Khazanah di Malaysia. Dua national holding company tetangga itu bisa membesar karena tidak dijahili.

Formula menjadikannya raksasa hanya ada tiga yaitu depolitisasi, debirokratisasi, dan penetapan aset dipisahkan dari aset negara.

Penulis : Tantri Abeng, Mantan Menteri Negara Pendayagunaan BUMN

Leave a comment